Nanti bila ada yang sumringah mungkin itu saya atau bahkan
sepanjang malam saya akanmenyemat senyum.
Barangkali itu dapat diartikan sederhana dengan kata ‘bahagia’. Kata
tersebut mungkin pas atas perasaan yang melanda. Tapi kumohon jangan men-judge apa
yang kurasakan dengan istilah ‘terlalu lebay’—bagiku itu istilah yang tak enak
di indera pendengaran.
Oke bagaimana tidak, semalam pertama kali novel perdana saya
Curhat Sang Presiden on air di radio secara live. Meski waktu agak molor beberapa menit dari
jadwal yang ditentukan, akhirnya proses radio talkshow itu berjalan baik selama 60 menit.
Sebenarnya saya menjadi agak linglung untuk memulai
membahasnya. ‘Dari mana awalnya’ itu
menjadi masalah serius, atau barangkali lebih afdol jika saya membocorkan terlebih
dahulu lokasi on
air. On air perdana Curhat Sang Presiden ini di station RRI Pro 2, frekuensi 98,4 FM
Ambon tanggal 6 Agustus 2012 jam 20.00 WIT dalam acara Pro 2 Resensi—sebuah
acara yang sebenarnya saya juga baru tahu setelah seminggu dipanggil menjadi
narasumber.
Berhubung penyiarnya merupakan adik tingkat saya, jadi talkshow
ini serupa dengan menukar curhat-curhat pribadi antar dua manusia. Toh, dalam
acara tersebut kecanggungan hampir tidak melanda saya. Hanya saja memang saya
akui ada beberapa fokus yang hilang saat menjawab, barangkali faktor umur,
hehehehehe.
Acara berlangsung dalam beberapa segmen. Ya, lumrahlah seperti biasa, saya menyapa
pendengar di rumah, dan sang penyiar—sebut dia Yathy (sebuah nama dengan
lafalan huruf kebarat-baratan) memperkenalkan curriculum vitae saya. Saat itu saya rasa segmen pertama berjalan amat
lama hampir setengah jam. Banyak dialog saya dengan Yathy, menanyakan isi novel
Curhat Sang Presiden sendiri, mengungkap makna di balik cover novel, bagaimana
perasaan saat menulis novel ini, seberapa gregetnya menulis cerita ini, proses
penerbitan dan nama saya juga sempat dibahas. Segmen pertama yang sangat
berdebar-debar adalah ketika Yathy menanyakan isi novel ini.
“Novel ini berbicara tentang dua tokoh utama yang sama-sama
mengalami kejadian buruk dengan pasangan masing-masing—yang menjalin hubungan
maya dan nyata bersama tanpa saling tahu. Mereka bertahan menaklukan perasaan
luka dengan cara mereka yang berbalur jalan takdir,” begitulah kira-kira
kujawab.
Segmen pertama berakhir lewat sebuah lantunan manis dari
Marcell dengan hits remake Takan Terganti. Saat suara Marcell
membahana seisi studio, saya melihat Yathy tersipu-sipu. Mungkin dia tahu
seberapa dalam lagu ini yang merupakan track song yang saya gunakan dalam novel Curhat
Sang Presiden. Bahkan saya juga menemukan beberapa kali senyum plus
antusias Yathy dengan ucapan, “Setiap wanita wajib memiliki buku ini (Curhat
Sang Presiden).”
Segmen kedua juga berlangsung lama, hampir dua puluh
menitan. Saya ditanyakan inspirasi
menulis saya, kebiasaan menulis saya, dan kesibukan saya akhir-akhir ini.
Masalah kesibukan saya akhir-akhir ini adalah jawaban paling panjang yang
mungkin saja jawab dalam deretan pertanyaan segmen kedua, “Kesibukan saya
belakangan ini, karena kebetulan baru selesai wisuda (kuliah) saya mengurusi
ijazah dan sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan manuskrip novel kedua saya yang
judulnya ‘dirahasikan’, kini novelnya masih dalam proses editing. Jika ingin tahu kesibukan saya
tentang mengedit novel kedua saya atau sekadar melihat petikan-petikan kalimat
dalam novel kedua ini, silahkan dapat bocorannya lewat twitter saya di @elloaris.
Di sana hal-ikhwal novel terbaru saya dibahas,” kira-kira begitu jawaban saya.
Kalau tak saya ingat, segmen kedua ini juga ditanyakan
tentang apakah saya pernah mengikuti kursus menulis atau memiliki sebuah
komunitas buku. Saya pernah mengikuti
kursus menulis gratis dan masalah komunitas buku saya belum mengikuti, sempat
sih punya rencana bikin, tapi belum ada kata sepakat dari teman-teman lain.
Untuk saat ini saya masih bergabung di sebuah komunitas blog, Arumbai—Blogger
Maluku.
Segmen kedua seorang penelpon—namanya, Ari—menanyakan
motivasi menulis saya apakah dari diri sendiri atau orang lain. Jujur
pertanyaan ini membuat saya jauh menyelam ke tahun-tahun lalu. Pertanyaan ini
adalah sebuah cermin yang kini saya gunakan kemana-mana. Awal menulis saya
dimulai bahkan bukan dari tekad sendiri, awal memulai proses menulis saya
ketika saya terserang influence dari teman SMA saya. Teman saya itu suka
menulis kisah cintanya dalam bentuk cerpen, dan kerap menunjukannya kepada
saya. Dari situlah saya jadi ikut-ikutan membuat cerita ‘iseng’, bahkan waktu SMA itu sempat
saya mengasah kemampuan menulis lewat sebuah novel dengan judul ‘My Dear Black’
yang gagal terbit. Hehehehe sebuah pengalaman mengesankan bagi saya. Kembali ke
pertanyaan inti, untuk masalah motivasi memang saya akui pada awalnya saya
terkena influence
dari sahabat SMA saya, lalu seiring waktu hingga menginjak kuliah sekitar tahun
2008 saya menyukai dunia tulis-menulis, malah kegiatan ini kujadikan sebagai
aktifitas sehari-hari. Ketika orang menjadikan makan sebuah aktifitas paling
sering selama sehari, maka saya membalikannya: menulis saya buat lebih dari
sekadar makan.
Segmen kedua ditutup dengan lagu yang juga menjadi track song
novel Curhat Sang Presiden, sebuah lagu manis dari D’Masiv - Rindu Setengah Mati,
lalu kembali saya mendengar Yathy mengatakan novel Curhat Sang Presiden ini wajib
dimiliki wanita.
Pada segmen terakhir yang berlangsung cepat, beberapa
pertanyaan sederhana muncul seperti kiat-kiat menulis, ringkasan cerita novel, dan
pesan untuk pembaca. Dalam segmen ini ada satu penelepon yang menanyakan
kendala saat menulis. “Ya, kendala saya paling mood. Saya orangnya agak mood-moodan.
Ada saat dimana saya dapat mengerjakan sepuluh halaman narasi dengan hanya
sehari, ada juga saat dimana saya hanya bisa menulis satu halaman perhari
bahkan tidak sama sekali.”
Menjelang acara Pro 2
Resensi berakhir, seorang penelpon mendapat satu buah buku Curhat Sang Presiden
karena berhasil menjawab pertanyaan yang diberikan Yathy—tentunya yang
berhubungan dengan novel Curhat Sang Presiden. Menutup acara saya dimintai
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman saya yang turut andil dalam
menyelesaikan novel ini. Pokoknya banyak yang saya berikan ucapan, termasuk
nama sang penyiar. Dia kemudian tersenyum lagi setelah saya mengucapkan
namanya.
Kisah on air perdana Curhat Sang Presiden kurang lebih demikian,
dulu saya sempat di undang juga untuk on air novel namun kemudian saya tolak dengan
alasan sederhana—namun tak harus kita membahasnya disini kan? Kemungkinan ada beberapa
bagian yang sempat tak tertulis pada kisah on air ini, begitulah manusia cepat lupa bahkan
untuk sebuah kejadian yang belum 24 jam berlangsung. Manusia tak memiliki
memori sehebat Tuhan. Sayangnya, saya tak dapat menampilkan semua dialog dan
pertanyaan/jawaban secara lengkap—kupikir ini akan memperpanjang tulisan ini.
Saya tidak sedang membuat novel bukan?
Terakhir, thanks
tak terhingga untuk sang penyiar Yathy, dan RRI Pro 2 Ambon serta jajarannya,
teman-teman yang telah membantu menyukseskan acara ini, Upe Salasa, Rifky Santiago
dan Cindy Rery. Big
hug buat kalian semua.