“Akan selalu
ada kita. Aku percaya.”
Judul:
Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi
Penulis: M.Aan Masnyur
Penerbit:
GagasMedia
Hoaaah,
setelah sekian lama nggak ngeblog, akhirnya aku bisa juga meluangakan waktu
menyentuh blog ini. Dan lebih surprise-nya lagi bisa sharing buku-buku yang
pernah kubaca, dalam postingan Bilik Buka Buku yang sudah lama mati suri—hampir
dua tahun lebih. Bukan karena stok bacaan gak ada, tapi sibuk ngantor dan
siaran. Oke, stop curhat, dan mari kita mulai review.
Aku
mendapatkan novel Lelaki Terakhir Yang Menangis di Bumi dari kakak aku yang
tinggal di Bogor, tahun lalu (2015), tepatnya beberapa minggu setelah buku ini
resmi rilis di toko-toko buku. Jujur, saat melihat cover novel Aan, aku lebih
suka cover-nya Kukila atau Melihat Api Bekerja. Cover Lelaki Terakhir Yang
Menangis di Bumi terlalu datar dan pengin dibikin kayak lukisan, tapi tak
seelok gambar-gambar yang ada dalam Melihat Api Bekerja. Tapi lupakan cover
buku, toh isinya buku ini lebih jadi poin penting untuk dibahas.
Lelaki
Terakhir Yang Menangis di Bumi, berkisah tentang Jiwa Matajang dan Nanti Kinan.
Awal novel ini, menceritakan bagaimana patah hatinya Jiwa yang kehilangan Nanti
setelah wanita pujaannya itu menikah dengan lelaki kaya tapi mandul, Wisran.
Bab-bab selanjutnya, kita diajak untuk mundur, menyesap kisah cinta Jiwa dan
Nanti. Ada bagian yang paling kubenci dalam tokoh Jiwa. Dia adalah jenis pria
yang gampang jatuh cinta kepada perempuan—meskipun itu manusiawi, tapi
menuliskannya dan akhirnya diketahui Nanti seolah mengatakan, “Nanti, kau bukan
satu-satunya cinta matiku!”. Sementara salah satu tokoh yang paling kusukai
adalah, tokoh Ibu Jiwa. Dia seperti ensiklopedia nasihat yang punya
perbendaharaan kata—yang ketika keluar, selalu memikat. Salah satu kalimat yang
kusukai adalah: sering kali ada kesedihan
yang terlampau besar sehingga cuma rahasia yang mampu menampungnya atau satu-satunya kesialan manusia adalah menjadi
dewasa. Masa kecil, seburuk apa pun, tetaplah keajaiban. Sementara, yang
bikin ganggu dalam novel ini adalah kisah masa kecil Jiwa (terhitung dari
lahiran), jujur saat baca, aku merasa sedang memegang buku supranatural. Jomplang dengan kisah cinta yang dicurhatkan
dalam keseluruhan isi novel ini.
Dalam Lelaki
Terakhir Yang Menangis di Bumi, Aan menulis dengan sudut pandang Jiwa dan
Nanti. Jiwa akan berbicara panjang lebar dalam narasi-narasinya, sementara
Nanti akan bertugas sebagai penegas, pengoreksi serta penambah cerita dalam
catatan kaki. Jujur aku kurang suka Nanti, yang kerap nimbrung dengan
catatan-catatannya. Bikin kita kadang lupa cerita sebenarnya. Walau memang gaya
Aan ini termasuk cara penulisan yang keluar dari kelaziman. Untuk kamu yang
suka dengan puisi-puisi Aan, Lelaki Terakhir Yang Menangis di Bumi bisa menjadi
salah satu pilihan kamu. Bagiku setiap narasinya adalah puisi atau bisa
dikatakan, novel Lelaki Terakhir Yang Menangis di Bumi adalah kumpulan-kumpulan
puisi-puisi yang dinovelkan. Pilihan katanya keren, sederhana, mengena dan
bikin kamu semakin yakin, kalau Aan Mansyur adalah salah satu penulis yang bisa
menyulap sekaligus menyulam kata menjadi sebuah bangunan indah. Satu lagi, ada
persamaan antara tokoh Jiwa dengan Aan Mansyur, mereka sama-sama seorang
pustakawan dan suka menulis puisi. Ataukah Jiwa ini adalah benar-benar sosok
Aan yang sengaja difiksikan?
Untuk
penilaian aku akan memberikan 2,7 dari 5 bintang. Sebab novel tidak begitu
istimewa, tapi sangat baik untuk kamu yang ingin melihat puisi-puisi Aan
bercerita dengan cara yang lain. Sebagai penutup, aku akan kembali menuliskan
salah satu quote dalam Lelaki Terakhir Yang Menangis di Bumi:
Jika
kehidupan adalah buku, memaafkan diri sendiri adalah cara terbaik untuk
menyuntingnya.
0 komentar:
Post a Comment
Orang Keren Pasti Komentar...