Hai teman-teman
penulis, yang sudah menerbitkan buku atau novel—yang mayor maupun indi, aku
mengadakan jasa review buku,
dengan tajuk “Book Reviewer”. Kebetulan memang aku senang me-review buku-buku penulis tanah air dalam
#BilikBukaBuku yang sering aku posting ke dalam blog ini.
Buat teman-teman
yang pengin, silakan kirim bukumu yang sudah terbit ke:
Jln. Tarmidzi Taher – Lrg. Aspun,
Kebun Cengkeh, Batu merah Atas
Ambon, 97128
Tlp. 081267605238
Atas nama: Ello Aris
Ingin
tanya-tanya lebih lanjut, langsung aja ke twitter aku ya di @elloaris. Hasil review-nya juga nanti aku posting di
twitter, facebook dan juga instagram. Ditunggu ya, teman-teman!
Yeay, kali ini mau nge-post
lagi salah satu film Hindi. Dan filmnya ini baru aku nonton sekitar 3 hari
lalu. Judulnya Tamasha. Film ini direkomendasikan oleh Yathy, teman siaran aku.
Dari trailer-nya di youtube,
kelihatan menarik, tapi benarkah demikian? Let’s
kita review saja.
Tamasha sendiri diperankan dua mega bintang Bollywood, Ranbir Kapoor
dan Deepika Padukone. Di sini Ranbir Kapoor berperan sebagai Ved Vardhan Sahni,
sementara Deepika Padukone berperan sebagai Tara Maheswari. Cerita ini, dimulai
dari Ved kecil (yang diperankan Yas Sehgal) yang suka sekali dengan dongeng.
Saking tergila-gilanya, Ved bahkan senantiasa membayar seorang bapak tua untuk
mendongeng apa saja, agar dia bisa puas. Dari sinilah terbentuk kepribadian
Ranbir yang benar-benar di luar pikiran anak-anak biasa. Penuh imajinatif, gaya
bicara yang blakblakkan, serta bertingkah seperti pemain opera.
Sekian tahun kemudian, ketika dewasa, saat liburan ke Corsica
(Prancis), Ved tak sengaja bertemu Tara. Saat itu Tara harus menelepon ke India
karena paspor dan visanya hilang. Ved memberikan bantuan kepada Tara. Uniknya
mereka berkenalan dengan nama lain. Ved mengaku namanya Don, dan Tara mengaku
nama Mona Darling. Dari perkenalan itu, mereka merasa klop, apalagi Ved benar-benar
pria yang penuh imajinatif, spontan, tahu banyak hal tentang dongeng, cerita,
dan hikayat. Sifatnya yang seperti pemain opera membuat Tara jatuh hati.
Sayang, setelah menghabiskan waktu bersama, keduanya harus berpisah.
Tara harus kembali ke Kalkota. Setelah beberapa tahun, Tara pindah ke Delhi. Di
Delhi dia bertemu dengan Ved. Tapi kenyataan buruk menimpa Tara. Ved yang
selama ini dikenal Tara di Corsica, berbeda dengan Ved yang ada di Delhi. Ved
yang sekarang adalah pria kantoran biasa, kesehariannya datar, tidak punya rasa
humor dan benar-benar garing. Tidak seperti apa yang ditemui di Corsica. Hal
inilah yang membuat Tara menolak ajakan menikah dari Ved dan membuat Ved harus
kembali ke Shimla. Di kampung halamannya, Ved membuat perhitungan dengan
ayahnya. Ved merasa aturan ayahnyalah yang menjadi penyebab, dia harus mengubur
sifat aslinya yang spontan, imajinatif, blakblakan.
Eksekusi ending-nya, memang
tak mengecewakan tapi kurang gereget, meski pada akhirnya cita-cita Ved
terwujud. Terlepas dari itu, sebenarnya, menurut aku filmnya sih oke, dan ide
cerita di luar film drama romantis sejenis. Tapi agaknya Imtiaz Ali, sedikit
membuat film ini agak monoton dan sunyi yang ‘tidak enak’. Aku pakai tanpa
petik, karena ada beberapa film dengan scene-scene
sunyi yang enak dijadikan jalan cerita. Aku suka bagian-bagian ketika di
Corsica, acting Ranbir dan Deepika
benar-benar hidup, liar, gila dan berkembang. Sayangnya ketika berpindah ke scene-scene di India karakter mereka
benar-benar berubah, terutama Ranbir. Tapi memang begitulah cerita yang
diskenariokan.
Untuk setting, aku suka di
Corsica dan Shimla—sebab yang pernah aku bilang, untuk film aku kurang suka setting perkotaan, bosan! Jadi dalam fim
ini, Corsica dan Shimla akan memanjakan matamu dengan pemandangan laut, gunung,
dan rumah-rumah khas daerah setempat. Sementara musiknya cukup enak. Aku suka
lagu Mohit Chauhan, judulnya Matargashti. Scene-nya
Ranbir dan Deepika di Corsica. Keren—berasa terbawa ke dalam film Barfi.
Secara keseluruhan aku beri nilai 2,7 dari 5 Bintang untuk film ini.
Karena jujur, aku agak kecewa dengan ceritanya yang datar, meski ide Imtiaz Ali
menghadirkan karakter Ved yang spontan dan imajinatif memang luar biasa, tapi
selebihnya kurang gereget, padahal acting
Ranbir maupun Deepika juara sangat! Nah ini ada lirik keren dari soundtrack Tamasha—yang kurasa mewakili karakter Ved yang
menjadi sentral cerita:
Cast: Salman Khan, Kareena Kapoor, Harshaali Malhotra, Nawazuddin
Siddiqui
Directed: Kabir Khan
Akhirnya, aku bisa kembali me-review
film hindi, setelah bulan lalu me-review
Dilwale. Jujur aja nih, aku adalah salah satu penggemar film Bollywood. Sudah
hampir tiga tahun maniak film Hindi—sejak keracunan Chennai Express (walau dari
zaman SD sudah suka sama jenis film ini, wkwkwkw).
Nah kali ini, aku coba review
salah satu film Bollywood yang rilis tahun lalu, tepatnya 17 Juli 2015. Ya, aku
baru sempat nontonnya Januari lalu, setelah direkomendasikan dari si film makerRifky Husain. Film ini
berjudul Bajrangi Bhaijaan. Dan sumpah, film ini menjadi film 2015 yang
menguras empati sekaligus bikin sedih saking tersentuhnya. Tidak kehitung
berapa kali aku meneteskan air mata sepanjang menonton film ini.
Cerita Bajrangi Bhaijaan sendiri dimulai dari hilangnya Shahida atau
Munni yang diperankan Harshaali Malhotra, di perbatasan India – Pakistan.
Shahida (Munni) sendiri dibawa ibunya dari Pakistan ke Delhi-India untuk berobat
karena Shahida bisu. Sayang, saat ingin kembali ke Pakistan, Shahida terpisah
dengan ibunya di perbatasan. Tinggalah Shahida terlantar sendirian di India.
Pawan Kumar yang diperankan Salman Khan tak sengaja bertemu dengan Shahida
setelah melakukan sebuah perayaan dalam agama Hindu. Pawan lantas
memberikannya, makan dan minum karena kasihan.
Jalan cerita mulai berubah ketika Shahida diam-diam mengikuti Pawan
kemanapun dia pergi. Alhasil, dengan terpaksa Pawan membawa Shahida ke rumah
tunangannya. Pawan sendiri memang tinggal di rumah calon istrinya Rasika yang
diperankan Kareena Kapoor. Masalah muncul ketika Shahida yang ternyata seorang
muslim, sangat bertentangan dengan ayah Rasika yang seorang penganut Hindu.
Karena tak ada kompromi dari ayah Rasika dan juga karena rasa humanis, Pawan
yang taat pada agamanya, bertekad mengantar pulang Shahida (Munni) ke Pakistan.
Dalam perjalanan inilah Salman Khan melewati terjangan rintang yang berliku.
Kamu yang menonton di bagian ini, mungkin akan gereget, antuasias sekaligus
bercucuran air mata.
Jujur film ber-genre Indian
comedy-drama ini, adalah salah satu film India terbaik yang pernah aku tonton.
Kabir Khan memang sengaja mengangkat cerita yang berlatar belakang kedua negara
yang sempat berkonflik ke dalam sebuah cerita yang manis. Antara India dan
Pakistan, Hindu dan Islam. Apalagi film ini dirilis pada tanggal 17 Juli
bertepatan dengan Idul Fitri 2015. Sebuah toleransi yang baik ketika Kabir Khan
ingin menghadirkan sebuah cerita indah dalam merayakan Idul Fitri di
tengah-tengah mayoritas Hindu di India. Ada banyak adegan yang aku suka dalam
film ini, terutama ketika Pawan sudah berhasil membawa Shahida ke perbatasan melewati
Pakistan, juga pada bagian-bagian mendekati ending
cerita yang melibatkan emosi dan antusias. Sementara untuk ending-nya meski sederhana, tapi luar biasa, K. V. Vijayendra
Prasad sebagai penulis cerita dan Kabir Khan, sudah memikirkan setting dan situasi yang mewakili
Pakistan dan India. Satu hal yang bisa kita ambil dari Bajrangi Bhaijaan adalah
sisi humanisnya, apalagi kalau kita lihat, di zaman sekarang ini, kepedulian
semakin surut dari sifat manusia modern. Sementara Bajrangi Bhaijaan benar-benar
membawa kita merenung, betapa berharganya mengulurkan tangan kepada orang lain.
Untuk acting, Salman begitu
apik bermain sebagai Pawan. Namun bagiku sifatnya yang tidak bisa berbohong,
terlihat kurang realistis. Sementara Kareena Kapoor agaknya memang diberi porsi
yang sedikit, terlihat sekali dari scene-scene-nya.
Tak heran jika nanti kamu beranggapan kalau Kareena kurang meng-explore kemampuannya. Tapi…, semua terbayar
dengan ceritanya yang luar biasa. Karakter yang paling aku suka, ya tentu
karakter Harshaali Malhotra. Menjadi bocah bisu, dia seperti memberikan energi
untuk orang-orang di sekitarnya.
Untuk urusan setting, aku
suka setting di Pakistan—terutama
ketika Salman Khan harus bersembunyi dari kejaran polisi Pakistan. View desa-nya cantik. Ini mengingatkan
aku dengan setting Chennai Express,
atau mungkin karena akhir-akhir ini aku memang lagi senang nonton film yang setting-nya pedesaan, (tempat terpencil)
atau pegunungan—sebenarnya sih efek jenuh dengan kota. Sedangkan untuk musik,
rata-ratalah, sebab Bajrangi Bhaijaan sendiri bukanlah film romantis yang
mengharuskan full musik seperti
film-film Bollywood kebanyakan.
Secara pribadi, aku sangat suka dengan film ini. Pokoknya buat kamu
yang belum nonton, film ini aku rekomendasikan sebagai film yang patut kamu
nonton. 100% recommended. Sekadar
tips juga, selalu siapkan tisu jika kamu menonton film ini. Untuk itu, aku beri
nilai 4,5 dari 5 Bintang untuk film ini. Mendekati sempurna kan? Mungkin inilah
penggalan lirik dalam salah satu lagu film ini, yang barangkali bisa mewakili
kisah Pawan dan Shahida:
Sejak kita bertemu,
tujuanku jadi mudah. Karena aku jantungnya dan kau detaknya
***
Nah ada satu
lagi film Salman Khan yang baru aku tonton semalam, aku ringkas ya.
Judul: Prem
Ratan Dhan Payo
Cast: Salman
Khan, Sonam Kapoor, Neil Nitin Mukesh
Directed:
Sooraj R. Barjatya
Jujur bagiku, film Prem Ratan Dhan Payo, kurang gereget, meski film
ini aku perkirakan menghabiskan banyak uang dalam pembuatannya. Sebab gilaaak,
banyak set yang mewah dan melibatkan banyak penari dalam penggarapan adegan
lagunya. Prem Ratan Dhan Payo sendiri bercerita tentang keluarga kerajaan di
zaman modern, yang saling memperebutkan tahta dan harta. Jujur, ceritanya
ala-ala dongeng—dimana ada seorang pria biasa, yang wajahnya mirip dengan
pangeran—dan ide cerita seperti ini sudah bisa ditebak plotnya. Tapi di India
sendiri, Prem Ratan Dhan Payo termasuk 10 film populis 2015 di India. Di sini, Salman
berperan ganda sebagai Prem Dilwale dan juga berperan sebagai Yuraj Vijay Singh
(Pangeran Pritampur). Sementara acting
Sonam Kapoor, menurutku agak jelek—mungkin perannya sebagai putri Maithili
membuatnya kaku. Bicaranya harus ditahan, gaya jalannya diatur, dan penuh
perhitungan. Aku sih, lebih suka peran Sonam Kapoor dalam film Khoobsurat yang
juga bertema kerajaan.
Tapi buat kamu yang ingin kembali mengenang masa-masa film India yang
menghadirkan full tarian dan musik,
mungkin film ini akan mengobati rasa kerinduan kamu akan film Bollywood zaman 90an hingga 2000an
awal. Setting-nya kece badai sih ya,
dan itu tadi kayaknya film ini memakan budget
yang amat luar biasa banyak. Soalnya set-set kerajaannya wuidiiih indah bener!
Untuk film Prem Ratan Dhan Payo, aku kasi 2,7 dari 5 Bintang.
Kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak
bisa mengentikannya
Judul: Hujan
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia
Hai sahabat blogger, akhirnya aku bisa nge-post Bilik Buka Buku yang kedua tahun ini. Kali ini aku mau review salah
satu novel yang terbit akhir Januari 2016 kemarin. Judulnya Hujan, karya Tere
Liye—salah satu novelis yang melahirkan novel-novel laris.
Nah, aku sendiri memperoleh novel ini dengan cara pre-order di situs toko online
gramedia. Lebih memilih beli online,
karena cepat dan tidak buang tenaga juga sih, harus putar-putar toko offline. Lagian dapat potongan harga,
tapi harusnya kalau pre-order, ada
bagusnya ditandatangani oleh penulisnya sih—ya, sekedar saran aja buat gramedia
dan Tere Liye.
Kita bedah dulu ya, dari sisi covernya. Novel Hujan sendiri
menghadirkan gambar rintikan hujan atau titik air dengan warna biru pudar—yang
memang menggambarkan hujan. Tapi bagi saya ini agak mengecewakan. Untuk sebuah
cover dari judul yang tampak marketable
ini, sangat datar, malah mirip gambar buku cerita anak. Kenapa tidak
menggunakan gambar asli—foto hujan misalnya. Itu lebih terkesan hidup dan
suasana romantisnya mungkin bisa saja akan terasa.
Awalnya aku pikir dengan judul Hujan ini—cerita di dalamnya, akan
menghadirkan banyak plot-plot sentimental atau membawa orang-orang merasakan
banyak kisah romantis—apalagi blurb-nya
cukup simple dan ‘menjual’ kata-kata
yang setidaknya bikin calon pembeli akan langsung jatuh hati. Tapi… tidak
begitu kenyataannya, jadi mari kita mulai me-review novel Hujan ini.
Cerita Hujan dimulai ketika seorang gadis bernama Lail yang harus
bertemu Elijah, seorang petugas medis untuk menghapus ingatannya terhadap
hujan. Kenapa Hujan? Sebab menurut Lail banyak kejadian-kejadian penting dalam hidupnya
banyak berhubungan dengan Hujan—termasuk hubungannya dengan Esok. Novel ini,
menggunakan alur maju dan mundur, sehingga ketika awal membaca kita akan
langsung ke setting tahun 2050.
Di tahun 2050 inilah, Lail mulai menceritakan kronologis kisah dalam
hidupnya kepada Elijah, sebelum petugas medis itu benar-benar memutuskan untuk
menghapus semua kenangan pasiennya tentang Hujan. Maka pembaca akan dibawa
mundur dengan cerita-cerita Lail, dimulai dari tahun 2042, ketika dia harus
menuju sekolah bersama ibunya. Jika kamu pernah menonton film Slumdog
Millionaire, kira-kira begitulah alur dalam novel ini.
Ditahun 2042, ketika bencana letusan gunung berapi, yang
memporak-porandakan seluruh dunia, Lail diselamatkan oleh seorang pria bernama
Esok (Soke Bahtera). Pria inilah yang kemudian membantu Lail melewati hidupnya
sebagai yatim piatu akibat bencana besar tersebut. Awal-awal bab dalam novel Hujan
memang cukup membuatku terkejut. Harus kuakui, bahwa aku cukup kagum dengan isi
cerita—dimana Tere Liye benar-benar melakukan riset tentang bencana gunung
berapi dan cukup pintar memikirkan seperti apa nanti tahun 2042, mulai dari
teknologinya, perubahan transportasinya dan pembangunannya, ya meski belum
tentu akan sebagus itu perubahan di tahun 2042 jika kita masih bertahan hidup
hingga tahun 2042. Selain itu, bab-bab awal ada nilai penting yang dihadirkan
oleh Tere Liye, yaitu Empati. Bagaimana kita bersikap untuk bisa menolong dan
bermanfaat untuk orang lain, serta peka terhadap orang di sekeliling. Ini sungguh-sungguh
menyentuh, apalagi sosok Esok benar-benar seperti pahlawan dari negeri
‘antah-berantah’
Cerita-cerita selanjutnya, pembaca akan digiring dengan kisah Lail dan
Esok yang menjalani hari-harinya di penampungan, kemudian di panti asuhan, dan
kemudian mereka berpisah, lantaran Esok diadopsi oleh walikota karena
kepintarannya. Jika kamu jenis pembaca yang mungkin mencari adegan-adegan
romantis dalam novel yang terlanjur menjual cinta dalam blurb-nya, mungkin Hujan tidak banyak menghadirkan hal tersebut—tapi
itu terbayar ketika kamu menikmati setiap cerita Tere Liye tentang kebersamaan
Lail dan Esok di atas sepeda merah atau bagaimana mereka menuju lubang tangga
kereta kapsul.
Untuk karakter Lail aku cukup suka, dia pemberani, mau menerima
perpisahan dan tidak pernah menuntut. Sementara jujur, untuk Esok atau Soke
Bahtera yang digambarkan cukup sempurna dalam novel ini, aku kurang suka,
karena memang aku adalah jenis pembaca yang tidak terlalu suka dengan
penggambaran karakter yang sempurna dalam sebuah novel. Seperti dongeng
jatuhnya. Dan untuk sosok pembantu utama seperti Maryam, bagiku ini yang kelihatan
riil. Kribo dan jerawatan. Aku suka. Dan seharusnya seperti ini, tidak melulu
seorang tokoh digambarkan punya fisik dan karakter sempurna.
Untuk narasinya, memang tidak bisa diragukan, Tere Liye benar-benar
juara dalam novel ini. Latar belakang cerita yang sepintas lewat isinya terasa
berat, benar-benar bisa dibikin renyah oleh Tere, sehingga aku pribadi sangat-sangat
suka. Kita seperti berada di situasi yang digambarkan oleh Tere Liye dalam
Hujan. Bahkan satu minggu setelah membaca novel ini, aku masih merasa seperti
berada di tahun sepanjang 2042 sampai 2050, merasakan letusan, ketegangan dan
petualangan-petualangan Lail. Jarang-jarang aku meraskan demikian saat baca
novel. Sayangnya, Tere Liye kurang menjelaskan sisi filosofis hujan—yang
mungkin saja berbeda di kacamatanya. Aku
sih awalnya mengira akan ada banyak makna-makna hujan yang akan dijelaskan
menggunakan narasi-narasi cantik di dalam novel ini, apalagi kalian tahu kan?
Di luar sana, ada banyak penulis yang memuja hujan dalam cerita-cerita mereka.
Lalu bagaimana dengan ending-nya?
Cukup mengejutkan sebab Lail tetap memilih untuk menghapus Hujan agar
benar-benar melupakan sosok Esok.
Untuk penilaian, aku beri nilai 3,9 dari 5 bintang untuk novel yang
cukup luar biasa ini. Segar secara ide, setting
yang ajib (meski tak menyebutkan nama tempat), dan riset yang oke. Sebagai
penutup aku beri quote lucu dari
novel ini yang lumayan mengena di hati
Ada orang-orang yang
kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak bisa
tinggal dalam hidup kita