Kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak
bisa mengentikannya
Judul: Hujan
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia
Hai sahabat blogger, akhirnya aku bisa nge-post Bilik Buka Buku yang kedua tahun ini. Kali ini aku mau review salah
satu novel yang terbit akhir Januari 2016 kemarin. Judulnya Hujan, karya Tere
Liye—salah satu novelis yang melahirkan novel-novel laris.
Nah, aku sendiri memperoleh novel ini dengan cara pre-order di situs toko online
gramedia. Lebih memilih beli online,
karena cepat dan tidak buang tenaga juga sih, harus putar-putar toko offline. Lagian dapat potongan harga,
tapi harusnya kalau pre-order, ada
bagusnya ditandatangani oleh penulisnya sih—ya, sekedar saran aja buat gramedia
dan Tere Liye.
Kita bedah dulu ya, dari sisi covernya. Novel Hujan sendiri
menghadirkan gambar rintikan hujan atau titik air dengan warna biru pudar—yang
memang menggambarkan hujan. Tapi bagi saya ini agak mengecewakan. Untuk sebuah
cover dari judul yang tampak marketable
ini, sangat datar, malah mirip gambar buku cerita anak. Kenapa tidak
menggunakan gambar asli—foto hujan misalnya. Itu lebih terkesan hidup dan
suasana romantisnya mungkin bisa saja akan terasa.
Awalnya aku pikir dengan judul Hujan ini—cerita di dalamnya, akan
menghadirkan banyak plot-plot sentimental atau membawa orang-orang merasakan
banyak kisah romantis—apalagi blurb-nya
cukup simple dan ‘menjual’ kata-kata
yang setidaknya bikin calon pembeli akan langsung jatuh hati. Tapi… tidak
begitu kenyataannya, jadi mari kita mulai me-review novel Hujan ini.
Cerita Hujan dimulai ketika seorang gadis bernama Lail yang harus
bertemu Elijah, seorang petugas medis untuk menghapus ingatannya terhadap
hujan. Kenapa Hujan? Sebab menurut Lail banyak kejadian-kejadian penting dalam hidupnya
banyak berhubungan dengan Hujan—termasuk hubungannya dengan Esok. Novel ini,
menggunakan alur maju dan mundur, sehingga ketika awal membaca kita akan
langsung ke setting tahun 2050.
Di tahun 2050 inilah, Lail mulai menceritakan kronologis kisah dalam
hidupnya kepada Elijah, sebelum petugas medis itu benar-benar memutuskan untuk
menghapus semua kenangan pasiennya tentang Hujan. Maka pembaca akan dibawa
mundur dengan cerita-cerita Lail, dimulai dari tahun 2042, ketika dia harus
menuju sekolah bersama ibunya. Jika kamu pernah menonton film Slumdog
Millionaire, kira-kira begitulah alur dalam novel ini.
Ditahun 2042, ketika bencana letusan gunung berapi, yang
memporak-porandakan seluruh dunia, Lail diselamatkan oleh seorang pria bernama
Esok (Soke Bahtera). Pria inilah yang kemudian membantu Lail melewati hidupnya
sebagai yatim piatu akibat bencana besar tersebut. Awal-awal bab dalam novel Hujan
memang cukup membuatku terkejut. Harus kuakui, bahwa aku cukup kagum dengan isi
cerita—dimana Tere Liye benar-benar melakukan riset tentang bencana gunung
berapi dan cukup pintar memikirkan seperti apa nanti tahun 2042, mulai dari
teknologinya, perubahan transportasinya dan pembangunannya, ya meski belum
tentu akan sebagus itu perubahan di tahun 2042 jika kita masih bertahan hidup
hingga tahun 2042. Selain itu, bab-bab awal ada nilai penting yang dihadirkan
oleh Tere Liye, yaitu Empati. Bagaimana kita bersikap untuk bisa menolong dan
bermanfaat untuk orang lain, serta peka terhadap orang di sekeliling. Ini sungguh-sungguh
menyentuh, apalagi sosok Esok benar-benar seperti pahlawan dari negeri
‘antah-berantah’
Cerita-cerita selanjutnya, pembaca akan digiring dengan kisah Lail dan
Esok yang menjalani hari-harinya di penampungan, kemudian di panti asuhan, dan
kemudian mereka berpisah, lantaran Esok diadopsi oleh walikota karena
kepintarannya. Jika kamu jenis pembaca yang mungkin mencari adegan-adegan
romantis dalam novel yang terlanjur menjual cinta dalam blurb-nya, mungkin Hujan tidak banyak menghadirkan hal tersebut—tapi
itu terbayar ketika kamu menikmati setiap cerita Tere Liye tentang kebersamaan
Lail dan Esok di atas sepeda merah atau bagaimana mereka menuju lubang tangga
kereta kapsul.
Untuk karakter Lail aku cukup suka, dia pemberani, mau menerima
perpisahan dan tidak pernah menuntut. Sementara jujur, untuk Esok atau Soke
Bahtera yang digambarkan cukup sempurna dalam novel ini, aku kurang suka,
karena memang aku adalah jenis pembaca yang tidak terlalu suka dengan
penggambaran karakter yang sempurna dalam sebuah novel. Seperti dongeng
jatuhnya. Dan untuk sosok pembantu utama seperti Maryam, bagiku ini yang kelihatan
riil. Kribo dan jerawatan. Aku suka. Dan seharusnya seperti ini, tidak melulu
seorang tokoh digambarkan punya fisik dan karakter sempurna.
Untuk narasinya, memang tidak bisa diragukan, Tere Liye benar-benar
juara dalam novel ini. Latar belakang cerita yang sepintas lewat isinya terasa
berat, benar-benar bisa dibikin renyah oleh Tere, sehingga aku pribadi sangat-sangat
suka. Kita seperti berada di situasi yang digambarkan oleh Tere Liye dalam
Hujan. Bahkan satu minggu setelah membaca novel ini, aku masih merasa seperti
berada di tahun sepanjang 2042 sampai 2050, merasakan letusan, ketegangan dan
petualangan-petualangan Lail. Jarang-jarang aku meraskan demikian saat baca
novel. Sayangnya, Tere Liye kurang menjelaskan sisi filosofis hujan—yang
mungkin saja berbeda di kacamatanya. Aku
sih awalnya mengira akan ada banyak makna-makna hujan yang akan dijelaskan
menggunakan narasi-narasi cantik di dalam novel ini, apalagi kalian tahu kan?
Di luar sana, ada banyak penulis yang memuja hujan dalam cerita-cerita mereka.
Lalu bagaimana dengan ending-nya?
Cukup mengejutkan sebab Lail tetap memilih untuk menghapus Hujan agar
benar-benar melupakan sosok Esok.
Untuk penilaian, aku beri nilai 3,9 dari 5 bintang untuk novel yang
cukup luar biasa ini. Segar secara ide, setting
yang ajib (meski tak menyebutkan nama tempat), dan riset yang oke. Sebagai
penutup aku beri quote lucu dari
novel ini yang lumayan mengena di hati
Ada orang-orang yang
kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak bisa
tinggal dalam hidup kita
8 komentar:
bukannya Lail sudah memeluk kenangan tersebut? dan garis merah seketika berubah menjadi garis biru? dan saat itu juga tidak ada yang bisa dihapus oleh alat itu. Saat Esok datang ke tempat itu juga Lail masih mengingatnya.
bukannya Lail sudah memeluk kenangan tersebut? dan garis merah seketika berubah menjadi garis biru? dan saat itu juga tidak ada yang bisa dihapus oleh alat itu. Saat Esok datang ke tempat itu juga Lail masih mengingatnya.
bukannya Lail sudah memeluk kenangan tersebut? dan garis merah seketika berubah menjadi garis biru? dan saat itu juga tidak ada yang bisa dihapus oleh alat itu. Saat Esok datang ke tempat itu juga Lail masih mengingatnya.
Bagus Bgt novelnya. Ini pertama kalinya saya baca karyanya Tere Liye
Suka dengan novel ini, banyak quotes indahnya :)
Admin, if not okay please remove!
Our facebook group “selfless” is spending this month spreading awareness on prostate cancer & research with a custom t-shirt design. Purchase proceeds will go to cancer.org, as listed on the shirt and shirt design.
www.teespring.com/prostate-cancer-research
Endingnya lail memeluk semua kenangan bersama esok -_-
Bener tuh
Post a Comment
Orang Keren Pasti Komentar...